Pengertian Dan Pentingnya Kesetiakawanan Sosial - foldersoal.com
Sunday, 10 May 2015
Edit
Kesetiakawanan Sosial atau rasa solidaritas sosial merupakan potensi spritual, komitmen bersama sekaligus jati diri bangsa oleh lantaran itu Kesetiakawanan Sosial merupakan Nurani bangsa Indonesia yang tereplikasi dari sikap dan sikap yang dilandasi oleh pengertian, kesadaran, keyakinan tanggung jawab dan partisipasi sosial sesuai dengan kemampuan dari masing-masing warga masyarakat dengan semangat kebersamaan, kerelaan untuk berkorban demi sesama, kegotongroyongan dalam kebersamaan dan kekeluargaan.
Kesetiakawanan Sosial merupakan bab dari nilai, sikap dan sikap pro sosial yang berakar dalam konteks tata budaya nusantara dan masyarakat beragam Indonesia menurut Pancasila. Nilai dasar ini mengandung spektrum kesantunan serta kepedulian sosial yang fundamental dan kontekstual.
Dilandasi pengertian, kesadaran dan tanggung jawab sosial seluruh komponen masyarakat, bangsa dan negara dalam kerangka mengekspresikan kebudayaan Pancasila.
Dalam konteks itu, nilai kesetiakawanan sosial sebagai dimensi modal sosial mempunyai posisi strategis untuk menumbuh kembangkan semangat kebersamaan, saling percaya dan menerima, integrasi dan ikatan sosial, yang dinyatakan melalui kerelaan, proaktif, serta kepedulian untuk berkorban bersama warga masyarakat yang membutuhkan dalam kerangka mewujudkan Indonesia Sejahtera berbudaya Pancasila.
Artinya, kesetiakawanan sosial hakekatnya suatu kemauan untuk bersatu dalam solidaritas sosial, kesamaan nasib, dan keinginan menjadi makluk sosial yang saling peduli dan membuatkan dalam membangun persaudaraan sejati, persaudaraan masyarakat beragam Indonesia berbudaya Pancasila. Kepentingan pribadi diletakkan dalam kerangka kesadaran atas kewajiban sebagai makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Seiring dengan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di masa reformasi dan globalisasi, maka kesetiakawanan sosial tengah mengalami pergeseran fundamental dan paradigmatik.
Nilai-nilai kesetiakawanan sosial sebagai modal sosial strategis budaya Pancasila, sekarang mengalami proses destruksi sistematis dan kian kritis selang beberapa dekade terakhir, di masa reformasi, otonomi kawasan dan globalisasi remaja ini.
Kondisi faktual tersebut nampak antara lain berbentuk:
a) kesetiakawanan sosial, yang sering menampakan wajah secara terbatas di ruang politik, namun dengan semangat membela kepentingan masing-masing golongan.
b) menguatnya kesetiakawanan sosial berwajah kedaerahan yang mewujud dalam komunalisme dan tribalisme.
c) di bidang ekonomi, nilai kesetiakawanan sosial belum sepenuhnya menjadi kesadaran nasional, baik di level struktural, institusional, maupun personal. Menguatnya kesenjangan ekonomi dan sosial merupakan indikator melemahnya kesetiakawanan sosial, yang kemudian menjadi alir deras munculnya banyak sekali problem kesejahteraan sosial.
d) selain itu revolusi globalisme ditengarai tengah menetrasi banyak sekali modal sosial lokal, ditandai dengan sejumlah tanda-tanda antara lain menguatnya semangat individualis, kian memudarnya semangat kebersamaan, mencuatnya identitas komunal dan kedaerahan, melemahnya semangat kebangsaan dan nasionalisme serta makin memudarnya modal sosial masyarakat yang dilandasi oleh saling percaya, komitmen bersama, janji bersama dan hukum main dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Bahkan dalam beberapa hal, terjadi kanibal sosial (social cannibalism), yaitu sifat saling menghancurkan, saling membunuh huruf dan berujung pada saling mematikan.
Destruksi kesetiawakanan sosial, nyaris melahirkan pergulatan pemaknaan di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ketika ini.
Memudarnya perasaan empati, kepedulian sosial dan saling membuatkan sebagai verbal kesetiakawanan sosial menjadi kepentingan individualis dan kelompok secara langsung dengan memarginalkan kepentingan sosial, telah mendongkrak sistem sikap sosial pro-sosial dan altruistik bergeser kearah sistem sikap prokelompok langsung dan individualis di lingkungan masyarakat.
Kohesi sosial makin bergeser menjadi kohesi kelompok menurut kepentingan dan kesadaran kelompok.
Makin jauhnya nilai keadilan sosial, maraknya konflik berbasis suku, ras dan agama (SARA), kesenjangan ekonomi serta banyak sekali problem sosial lainnya mengatakan bahwa refleksi terhadap landasan kesetiakawanan sosial berbudaya Pancasila, kian menjadi informasi nasional yang sangat serius, mendasar, kontekstual dan strategis.
Pada sisi lain, kesenjangan sosial yang makin terstruktur dan membudaya, nampak secara jelas, jikalau dilihat dari angka jumlah penduduk miskin yang terus meningkat.
Sebagai konsekuensi belum nampaknya penurunan signifikan angka penduduk miskin selama ini, maupun meningkatnya angka penduduk miskin sebagai imbas banyak sekali eskalasi dan frekuensi musibah dan sosial di banyak sekali kawasan remaja ini.
Kesenjangan distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, antar kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan serta tertinggal, lantaran ketimpangan penguasaan asset serta saluran pengelolaan sumber alam dan ekonomi dalam banyak sekali bentuk, makin menyebabkan jurang kesenjangan sosial ekonomi, kian kentara terang benderang, baik secara vertikal, maupun horisontal.
Oleh lantaran itu, secara strategis-konstitusional, menjadi penting kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 perihal Kesejahteraan Sosial yang telah meletakkan kedudukan dan fungsi konsepsi dan nilai Kesetiakawanan Sosial sebagai kerangka dasar dan mandat konstitusional dalam pengelolaan kesejahteraan sosial di Indonesia.
Nilai strategis-konstitusional Kesetiakawanan Sosial dalam konstruk budaya Pancasila itu, akan terus digali, dikembangkan dan didayagunakan berbasis pada kekayaan budaya dan kearifan lokal masyarakat beragam Indonesia dalam mewujudkan impian luhur Indonesia merdeka yang adil dan sejahtera.
Sebagai mandat strategis-konstitusional kesejahteraan sosial, kesetiakawanan sosial perlu terus direvitalisasi dan direlevansikan sesuai dengan kondisi konkret masyarakat, bangsa dan negara serta diimplementasikan dalam wujud nyata melalui dinamika kehidupan masyarakat, bangsa dan negara di tengah panggilan masa reformasi, otonomi kawasan dan globalisasi dengan segala konsekuensinya.
Belajar dari sejumlah fakta kondisi keprihatinan sosial sebagaimana diuraikan di atas, maka mewujudkan kesetiakawanan sosial sebagai modal sosial masyarakat, bangsa dan negara melalui suatu gerakan nasional, menjadi keharusan, baik sebagai mandat strategis-konstitusional maupun mandat budaya dan kearifan lokal seluruh masyarakat, bangsa, negara beragam nusantara, tanpa kecuali.
Dalam konteks dwi-mandat konstitusional dan kultural strategis itulah, sudah sepantasnya, seluruh masyarakat, bangsa dan negara Indonesia mempunyai “grand national solidarity”, berupa agenda nasional untuk mewujudkan solidaritas kesetiakawanan sosial nasional menuju Indonesia Sejahtera, sebagai kerangka contoh dalam rangka penyusunan “grand national reality”. Grand national solidarity yaitu suatu upaya sengaja, terpola, sistematis, dan berkelanjutan dalam rangka pembudayaan semangat solidaritas dan kesetiakawanan sosial nasional membangun bangsa, yang didasarkan atas spirit, visi, tekad, dan komitmen yang diajarkan dan diwariskan founding fathers negara Indonesia merdeka.
Sedangkan grand national reality, berkaitan dengan upaya bersama mengimplementasi Grand National Solidarity ke konteks masa sekarang dinamika reformasi, otonomi kawasan dan globalisasi dengan segala imbas destruktifnya terhadap kesetiakawanan dan kesejahteraan sosial nasional, sehingga pilihan taktik implementasi seharusnya sensitif dan responsif terhadap dinamika kebutuhan kontekstual dan kontemporer masa kini.
Pengkondisian administrasi perubahan akan ditempuh melalui tahapan-tahapan strategis :
a) perlindungan dan konsolidasi sosial,
b) pemberdayaan sosial sistemik, dan
c) budaya pembangunan kesetiakawanan dan kesejahteraan sosial berkelanjutan, sebagai iklim aman transformasi secara struktural, fungsional dan kultural yang dilakukan secara terencana, terpola, sistematis, terarah, dan berkelanjutan melalui Gerakan Bulan Bhakti Kesetiakawanan Sosial secara nasional.
Suatu gerakan transformasi nasional kesetiakawanan dan kesejahteraan sosial meliputi wilayah pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan secara holistik dan integratif, dengan mengoptimalkan tugas seluruh pilar modal sosial masyarakat, bangsa dan negara: jajaran Pemerintah/Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Dunia Usaha, Tentara Nasional Indonesia dan Polri, banyak sekali elemen masyarakat, dan sebagainya. Berbagai Sumber
Kesetiakawanan Sosial merupakan bab dari nilai, sikap dan sikap pro sosial yang berakar dalam konteks tata budaya nusantara dan masyarakat beragam Indonesia menurut Pancasila. Nilai dasar ini mengandung spektrum kesantunan serta kepedulian sosial yang fundamental dan kontekstual.
Dilandasi pengertian, kesadaran dan tanggung jawab sosial seluruh komponen masyarakat, bangsa dan negara dalam kerangka mengekspresikan kebudayaan Pancasila.
Dalam konteks itu, nilai kesetiakawanan sosial sebagai dimensi modal sosial mempunyai posisi strategis untuk menumbuh kembangkan semangat kebersamaan, saling percaya dan menerima, integrasi dan ikatan sosial, yang dinyatakan melalui kerelaan, proaktif, serta kepedulian untuk berkorban bersama warga masyarakat yang membutuhkan dalam kerangka mewujudkan Indonesia Sejahtera berbudaya Pancasila.
Artinya, kesetiakawanan sosial hakekatnya suatu kemauan untuk bersatu dalam solidaritas sosial, kesamaan nasib, dan keinginan menjadi makluk sosial yang saling peduli dan membuatkan dalam membangun persaudaraan sejati, persaudaraan masyarakat beragam Indonesia berbudaya Pancasila. Kepentingan pribadi diletakkan dalam kerangka kesadaran atas kewajiban sebagai makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kesetiakawanan Sosial
Nilai-nilai kesetiakawanan sosial sebagai modal sosial strategis budaya Pancasila, sekarang mengalami proses destruksi sistematis dan kian kritis selang beberapa dekade terakhir, di masa reformasi, otonomi kawasan dan globalisasi remaja ini.
Kondisi faktual tersebut nampak antara lain berbentuk:
a) kesetiakawanan sosial, yang sering menampakan wajah secara terbatas di ruang politik, namun dengan semangat membela kepentingan masing-masing golongan.
b) menguatnya kesetiakawanan sosial berwajah kedaerahan yang mewujud dalam komunalisme dan tribalisme.
c) di bidang ekonomi, nilai kesetiakawanan sosial belum sepenuhnya menjadi kesadaran nasional, baik di level struktural, institusional, maupun personal. Menguatnya kesenjangan ekonomi dan sosial merupakan indikator melemahnya kesetiakawanan sosial, yang kemudian menjadi alir deras munculnya banyak sekali problem kesejahteraan sosial.
d) selain itu revolusi globalisme ditengarai tengah menetrasi banyak sekali modal sosial lokal, ditandai dengan sejumlah tanda-tanda antara lain menguatnya semangat individualis, kian memudarnya semangat kebersamaan, mencuatnya identitas komunal dan kedaerahan, melemahnya semangat kebangsaan dan nasionalisme serta makin memudarnya modal sosial masyarakat yang dilandasi oleh saling percaya, komitmen bersama, janji bersama dan hukum main dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Bahkan dalam beberapa hal, terjadi kanibal sosial (social cannibalism), yaitu sifat saling menghancurkan, saling membunuh huruf dan berujung pada saling mematikan.
Destruksi kesetiawakanan sosial, nyaris melahirkan pergulatan pemaknaan di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ketika ini.
Memudarnya perasaan empati, kepedulian sosial dan saling membuatkan sebagai verbal kesetiakawanan sosial menjadi kepentingan individualis dan kelompok secara langsung dengan memarginalkan kepentingan sosial, telah mendongkrak sistem sikap sosial pro-sosial dan altruistik bergeser kearah sistem sikap prokelompok langsung dan individualis di lingkungan masyarakat.
Kohesi sosial makin bergeser menjadi kohesi kelompok menurut kepentingan dan kesadaran kelompok.
Makin jauhnya nilai keadilan sosial, maraknya konflik berbasis suku, ras dan agama (SARA), kesenjangan ekonomi serta banyak sekali problem sosial lainnya mengatakan bahwa refleksi terhadap landasan kesetiakawanan sosial berbudaya Pancasila, kian menjadi informasi nasional yang sangat serius, mendasar, kontekstual dan strategis.
Pada sisi lain, kesenjangan sosial yang makin terstruktur dan membudaya, nampak secara jelas, jikalau dilihat dari angka jumlah penduduk miskin yang terus meningkat.
Sebagai konsekuensi belum nampaknya penurunan signifikan angka penduduk miskin selama ini, maupun meningkatnya angka penduduk miskin sebagai imbas banyak sekali eskalasi dan frekuensi musibah dan sosial di banyak sekali kawasan remaja ini.
Kesenjangan distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, antar kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan serta tertinggal, lantaran ketimpangan penguasaan asset serta saluran pengelolaan sumber alam dan ekonomi dalam banyak sekali bentuk, makin menyebabkan jurang kesenjangan sosial ekonomi, kian kentara terang benderang, baik secara vertikal, maupun horisontal.
Oleh lantaran itu, secara strategis-konstitusional, menjadi penting kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 perihal Kesejahteraan Sosial yang telah meletakkan kedudukan dan fungsi konsepsi dan nilai Kesetiakawanan Sosial sebagai kerangka dasar dan mandat konstitusional dalam pengelolaan kesejahteraan sosial di Indonesia.
Nilai strategis-konstitusional Kesetiakawanan Sosial dalam konstruk budaya Pancasila itu, akan terus digali, dikembangkan dan didayagunakan berbasis pada kekayaan budaya dan kearifan lokal masyarakat beragam Indonesia dalam mewujudkan impian luhur Indonesia merdeka yang adil dan sejahtera.
Sebagai mandat strategis-konstitusional kesejahteraan sosial, kesetiakawanan sosial perlu terus direvitalisasi dan direlevansikan sesuai dengan kondisi konkret masyarakat, bangsa dan negara serta diimplementasikan dalam wujud nyata melalui dinamika kehidupan masyarakat, bangsa dan negara di tengah panggilan masa reformasi, otonomi kawasan dan globalisasi dengan segala konsekuensinya.
Belajar dari sejumlah fakta kondisi keprihatinan sosial sebagaimana diuraikan di atas, maka mewujudkan kesetiakawanan sosial sebagai modal sosial masyarakat, bangsa dan negara melalui suatu gerakan nasional, menjadi keharusan, baik sebagai mandat strategis-konstitusional maupun mandat budaya dan kearifan lokal seluruh masyarakat, bangsa, negara beragam nusantara, tanpa kecuali.
Dalam konteks dwi-mandat konstitusional dan kultural strategis itulah, sudah sepantasnya, seluruh masyarakat, bangsa dan negara Indonesia mempunyai “grand national solidarity”, berupa agenda nasional untuk mewujudkan solidaritas kesetiakawanan sosial nasional menuju Indonesia Sejahtera, sebagai kerangka contoh dalam rangka penyusunan “grand national reality”. Grand national solidarity yaitu suatu upaya sengaja, terpola, sistematis, dan berkelanjutan dalam rangka pembudayaan semangat solidaritas dan kesetiakawanan sosial nasional membangun bangsa, yang didasarkan atas spirit, visi, tekad, dan komitmen yang diajarkan dan diwariskan founding fathers negara Indonesia merdeka.
Sedangkan grand national reality, berkaitan dengan upaya bersama mengimplementasi Grand National Solidarity ke konteks masa sekarang dinamika reformasi, otonomi kawasan dan globalisasi dengan segala imbas destruktifnya terhadap kesetiakawanan dan kesejahteraan sosial nasional, sehingga pilihan taktik implementasi seharusnya sensitif dan responsif terhadap dinamika kebutuhan kontekstual dan kontemporer masa kini.
Pengkondisian administrasi perubahan akan ditempuh melalui tahapan-tahapan strategis :
a) perlindungan dan konsolidasi sosial,
b) pemberdayaan sosial sistemik, dan
c) budaya pembangunan kesetiakawanan dan kesejahteraan sosial berkelanjutan, sebagai iklim aman transformasi secara struktural, fungsional dan kultural yang dilakukan secara terencana, terpola, sistematis, terarah, dan berkelanjutan melalui Gerakan Bulan Bhakti Kesetiakawanan Sosial secara nasional.
Suatu gerakan transformasi nasional kesetiakawanan dan kesejahteraan sosial meliputi wilayah pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan secara holistik dan integratif, dengan mengoptimalkan tugas seluruh pilar modal sosial masyarakat, bangsa dan negara: jajaran Pemerintah/Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Dunia Usaha, Tentara Nasional Indonesia dan Polri, banyak sekali elemen masyarakat, dan sebagainya. Berbagai Sumber