Pendidikan Integral Suatu Keharusan
Saturday 29 October 2016
Edit
Falsafah Pendidikan Ki Hajar Dewantara, Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Bangun Karso, Tutwuri Handhayani membutuhkan keteladanan seluruh komponen pendidikan, terutama guru. Sebab guru yakni ikon untuk bisa digugu dan ditiru (dituruti kata-katanya dan dijadikan tauladan perilakunya). Oleh itu keteladanan guru merupakan suatu keharusan.
Sehingga tujuan pendidikan nasional: berkembangnya potensi penerima didik biar menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, sanggup terwujud. Perwujudan tujuan itu mustahil sanggup tercapai kalau integritas moral dan spiritual dalam proses pendidikan hanya merupakan sebuah slogan semata.
Sadarilah, bahwa tujuan pendidikan yakni mendidik akhlak, menunjukkan training agama dan dunia, menunjukkan sesuatu yang berguna, menunjukkan pengetahuan, dan menunjukkan keterampilan hidup (Falsafah al Tarbiyah al Islamiyah, Musthafa Athiyah, 1969). Hal tersebut sesuai pula dengan contoh operasional Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), bahwa: keimanan dan ketaqwaan serta budpekerti mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian penerima didik secara utuh.
Kurikulum disusun yang memungkinkan semua mata pelajaran sanggup menunjang pembentukan iman, taqwa serta budpekerti mulia. Pembentukan iman, taqwa serta budpekerti mulia merupakan wujud pendidikan integral. Dan itu menuntut seluruh komponen pendidikan; baik guru, siswa, tenaga kependidikan, serta kurikulum yang mengarah pada perbaikan moral.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka ilmu pengetahuan harus diberikan secara utuh, tidak parsial, atau sekuler. Artinya anak didik tidak hanya diberi pengetahuan secara kognitif semata, namun disertai dengan kesadaran akan Tuhan-nya ranah afektif. Sehingga akan melahirkan eksklusif yang beradab dalam ranah psikomotoriknya, jujur dan amanah. Sebab kejujuran dan rasa tanggungjawab itu merupakan pilar utama dalam membangun sebuah peradaban dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sehingga tujuan pendidikan nasional: berkembangnya potensi penerima didik biar menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, sanggup terwujud. Perwujudan tujuan itu mustahil sanggup tercapai kalau integritas moral dan spiritual dalam proses pendidikan hanya merupakan sebuah slogan semata.
Sadarilah, bahwa tujuan pendidikan yakni mendidik akhlak, menunjukkan training agama dan dunia, menunjukkan sesuatu yang berguna, menunjukkan pengetahuan, dan menunjukkan keterampilan hidup (Falsafah al Tarbiyah al Islamiyah, Musthafa Athiyah, 1969). Hal tersebut sesuai pula dengan contoh operasional Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), bahwa: keimanan dan ketaqwaan serta budpekerti mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian penerima didik secara utuh.
Kurikulum disusun yang memungkinkan semua mata pelajaran sanggup menunjang pembentukan iman, taqwa serta budpekerti mulia. Pembentukan iman, taqwa serta budpekerti mulia merupakan wujud pendidikan integral. Dan itu menuntut seluruh komponen pendidikan; baik guru, siswa, tenaga kependidikan, serta kurikulum yang mengarah pada perbaikan moral.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka ilmu pengetahuan harus diberikan secara utuh, tidak parsial, atau sekuler. Artinya anak didik tidak hanya diberi pengetahuan secara kognitif semata, namun disertai dengan kesadaran akan Tuhan-nya ranah afektif. Sehingga akan melahirkan eksklusif yang beradab dalam ranah psikomotoriknya, jujur dan amanah. Sebab kejujuran dan rasa tanggungjawab itu merupakan pilar utama dalam membangun sebuah peradaban dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Untuk mengoptimalkan tujuan tersebut, maka guru harus memperbaiki diri lebih dahulu dan menunjukkan landasan spiritual pada setiap mata pelajaran yang diberikan kepada penerima didik. Ketahuilah, spiritualitas itu tidak hanya milik pendidikan agama. Namun seluruh ilmu pengetahuan itu mengandung nilai-nilai spiritual juga. Kenapa? Karena pengetahuan itu bersumber dari sang Clausa Prima, al `Aliim, Yang Maha Mengetahui. Dengan landasan kesadaran berketuhanan atau kesadaran spiritual itu diperlukan output dan outcome penerima didik yakni insan yang berakhlak mulia.
Pendidikan integral ini mendesak untuk implementasikan mengingat gelombang dekadensi moral semakin menggerogoti anak bangsa tercinta. Angkat sebuah misal, masalah Ver (17), PSK ABG itu Ranking 10 Sekolah Menengah Pertama Favorit di Surabaya, (Harian Surya, Minggu, 10 Oktober 2010). Atau, pengrebekan dua pelajar Sekolah Menengan Atas yang melaksanakan adegan hot di sebuah Warnet di Kalijudan Surabaya baru-baru ini. Dan contoh mengenaskan lainnya, Geger Video Dua Anak Sekolah Menengah Pertama di Tulungagung (Harian Surya, Jumat, 7 Januari 2011).
Kasus-kasus tersebut dilakukan oleh bawah umur yang masih berstatus siswa sekolah menengah pertama (SMP) dan atas (SMA). Sungguh hal tersebut merupakan tamparan bagi dunia pendidikan alasannya yakni belum bisa menghasilkan anak didik yang bertanggungjawab. Hal tersebut merupakan akhir dari hilangnya kesadaran spiritual dalam pendidikan dan lemahnya kontrol serta tugas masyarakat dalam menanamkan pendidikan moral.
Agar kasus-kasus ibarat di atas tidak mewabah, maka pendidikan integral yang menyinergikan antara pengetahuan dan budpekerti bagi anak didik mendesak untuk kita maksimalkan. Mengingat semua itu merupakan tanggungjawab kita bersama, maka seluruh komponen bangsa harus dilibatkan dalam proses pendidikan secara menyeluruh. Dengan cita-cita pada dekade yang akan tiba kita bisa menatap masa depan yang lebih cemerlang dan mempunyai berkepribadian utuh. Semoga kita -terutama para guru- bisa melahirkan eksklusif yang bertanggung jawab sebagaimana amanah tujuan pendidikan nasional.
sumber : agus salim
Berbagai Sumber